Sabtu, 24 Maret 2012

taarufan yang bidah

Diposting oleh dara izhhar di 20.35
Awas! Taaruf praNikah = bid’ah sesat!!!
Update, 6 Juli 2008:
Saya telah mempertimbangkan pemuatan artikel ini dalam waktu yang lama. Bayangkan! Buku yang saya kupas tersebut sudah saya baca di awal terbitnya, yaitu November 2006. Sudah hampir dua tahun saya menahan diri untuk tidak mengemukakan kupasan saya itu di depan publik.
Saya sudah beberapa kali mengingatkan penerbit melalui moderator di milisnya. (Penulis buku tersebut adalah salah seorang editor di penerbit tersebut.) Pada mulanya pesan itu secara halus (tanpa menyebut istilah bid’ah). Namun pesan saya tidak ditanggapi. Mereka masih saja menerbitkan buku yang mengandung bid’ah itu, sehingga mereka menjangkau pembaca yang semakin banyak. Karenanya, kemudian terpaksalah saya sampaikan pesan tersebut secara terbuka supaya para pembaca buku seperti itu dapat kita ingatkan. Jika saya tidak mengingatkan pembaca buku tersebut, maka saya merasa berdosa.
—-Naskah semula:
Disamping bahaya zina pada budaya pacaran, kita juga perlu mewaspadai bahaya lain yang bahkan lebih mengerikan, yaitu bid’ah pada budaya ta’aruf praNikah. Mengapa lebih mengerikan? Sebab, bahaya ini cenderung kurang disadari. (Pelakunya menyangka menunaikan sunnah Rasul, padahal melakukan bid’ah yang sesat dan menyesatkan.)
Meskipun istilah taaruf itu terdapat dalam Al-Qur’an (al-Hujurat 13), bukanlah ini berarti bahwa semua bentuk taaruf itu dapat kita terima keberadaannya. Bagaimanapun, kita harus bertaaruf sesuai syariat Tuhan. Kita tidak boleh melakukan bid’ah, yakni “mengada-adakan tradisi yang tertentu dalam beragama”. (Menurut Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa, tradisi yang kita adakan dalam beragama itu bukan bid’ah apabila kita tidak menetapkan aturannya, kecuali bila ditetapkan oleh Allah atau Rasul-Nya.)
Pada budaya taaruf pranikah, ternyata ada sejumlah aktivis dakwah yang berusaha menetapkan aturannya, padahal aturan tersebut bukan berasal dari Allah atau Rasul-Nya. Untuk contoh, marilah saya tunjukkan sepuluh bentuk bid’ah yang terdapat di sebuah buku terbitan Lingkar Pena, 2006. Judulnya: Taaruf, Keren..! Pacaran, Sorry Men! (Nama penulisnya tidak saya sebut. Sebab, saya tidak bermaksud menyerang penulisnya. Yang saya kritik hanyalah tulisannya.)



1. Pembatasan Tujuan Taaruf
Katanya, “Tujuan taaruf sudah jelas, untuk menikah.” (hlm. 12 dan 31) Menurut penulis buku tersebut , kita tidak boleh taaruf bila tujuannya bukan untuk menikah. Katanya, “Sebelum kamu taaruf, kamu harus yakin apakah kamu sudah benar-benar siap untuk menikah.” Padahal, penetapan (pembatasan) tujuan taaruf itu bukanlah berasal dari Allah dan Rasul-Nya.
Nabi Muhammad saw. dan para sahabat justru terkadang berusaha mengenal (bertaaruf) dengan seorang lawan-jenis, walau tidak hendak menikah dengannya. Usaha mengenal itu tampak jelas pada pengajuan pertanyaan “siapa kau” atau “siapa dia”. Contohnya: “Nabi saw. datang menemui ‘Aisyah r.a.. Ketika itu di samping ‘Aisyah ada seorang wanita. Nabi saw. bertanya, ‘Siapa wanita itu?’ ….” (HR Bukhari dan Muslim)
2. Penetapan Durasi (Lamanya) Taaruf
Katanya, “Deadline taaruf maksimal tiga bulan.” Jadi, kalau “taarufmu lebih dari tiga bulan dan tidak ada perkembangan menuju pernikahan, berarti kamu sedang PACARAN dan bukan TAARUF.” (hlm. 16) Padahal, penetapan (pembatasan) durasi taaruf itu bukanlah berasal dari Allah dan Rasul-Nya. Untuk menuju pernikahan, Islam hanya menganjurkan pelaksanaannya sesegera mungkin, tanpa menetapkan lamanya.
3. Jaminan Kehalalan
Katanya, taaruf itu “100% halal” (hlm. 18). Padahal, kehalalannya tidak dijamin oleh Allah dan Rasul-Nya. Adanya bid’ah pada konsep taaruf ini jelas membuktikan bahwa taaruf itu tidak dijamin “100% halal”. Taaruf yang halal hanyalah yang islami.
4. Pengharusan Adanya Perantara
Katanya, “Kamu tidak bisa taaruf berdua saja [tanpa perantara atau mediator].” (hlm. 21) Padahal, pengharusan adanya perantara itu bukanlah berasal dari Allah dan Rasul-Nya.
Kita justru dapat menjumpai banyak contoh bahwa Nabi saw. dan para sahabat itu berkomunikasi langsung dengan seorang lawan-jenis tanpa perantara. Contohnya: “Seorang wanita dari kalangan Anshar datang kepada Nabi saw.. Lantas Nabi saw. berduaan dengannya [di dekat orang-orang] dan berkata, ‘Sesungguhnya kalian [kaum anshar] ialah orang-orang yang paling saya cinta’.” (HR Bukhari dan Muslim)
5. Pengharusan Mengajukan Pertanyaan
Katanya, “segala hal yang ingin kamu ketahui tentang calon pasangan hidupmu … wajib kamu tanyakan”. (hlm. 21) Padahal, pengharusan mengajukan pertanyaan itu bukanlah berasal dari Allah dan Rasul-Nya.
Kita justru dapat menjumpai banyak contoh bahwa Nabi saw. dan para sahabat itu berusaha mengenal seorang lawan-jenis, termasuk dalam kaitannya dengan menikah, tanpa mengajukan pertanyaan. Contohnya: “Seorang wanita datang kepada Rasulullah saw. seraya berkata, ‘Wahai Rasulullah, aku datang untuk memberikan diriku kepadamu.’ Lalu Rasulullah saw. memandangnya dengan menaikkan dan menurunkan pandangan beliau kepadanya, kemudian beliau menundukkan kepala.” (HR Bukhari dan Muslim)
6. Penetapan Kriteria Hafal Surat an-Nisa’
Katanya, “Seorang teman saya bahkan mengatakan, untuk pasangan yang berencana menikah, setidaknya sudah menghapal dan memahami arti dari keseluruhan Al Quran surat Annisa.” (hlm. 34) Padahal, penetapan kriteria tersebut bukanlah berasal dari Allah dan Rasul-Nya.
7. Pelarangan bagi Calon Istri untuk Mendatangi Keluarga Calon Suami
Katanya, “proses perkenalan kepada orangtua secara langsung, hanya bisa dilakukan oleh calon suami kepada keluarga calon istri. Sebab, tidak baik jika calon istri mendatangi keluarga calon suami.” (hlm. 38) Padahal, pelarangan tersebut bukanlah berasal dari Allah dan Rasul-Nya.
8. Pembatasan Perkenalan Calon Istri dengan Foto Saja
Katanya, “untuk memperkenalkan calon istri kepada keluarga calon suami, calon suami cukup membawa foto keluarga besar calon istri dan menceritakan secara lengkap tentang keadaan dan kondisi keluarga calon istri …” (hlm. 38) Padahal, pembatasan dan penetapan tersebut bukanlah berasal dari Allah dan Rasul-Nya.
9. Pengharusan Adanya Foto dalam Biodata
Katanya, dalam biodata yang hendak diserahkan ke si dia, “Kamu [yang belum tingkat tinggi] juga harus menyertakan menyertakan foto yang jelas dan berwarna. Biasanya, kalau sudah tingkat tinggi, alias yang menikah benar-benar ingin beribadah, foto bukan lagi hal yang penting.” (hlm. 46) Padahal, aturan pengharusan adanya foto dalam biodata itu bukanlah berasal dari Allah dan Rasul-Nya. (Di zaman Rasul itu belum ada fotografi, bukan?)
10. Penghentian Pertemuan Bila Tidak Berlanjut ke Taaruf Berikutnya
Katanya, “Setelah pertemuan pertama ini, kamu akan semakin tahu kecenderungan hatimu. … Kalau mantap, berlanjut ke taaruf berikutnya. Kalau tidak, ya di-cut.” Padahal, penghentian pertemuan dengan ketentuan seperti itu bukanlah berasal dari Allah dan Rasul-Nya.
Wallaahu a’lam.
Solo, 4 Juli 2008
M Shodiq Mustika, penulis buku best-seller Istikharah Cinta
============
Update 16 Juli 2008:
SPIP (seorang penentang islamisasi pacaran) menyangkal artikel saya di atas dengan menyatakan:
Yang perlu dipahami adalah bahwa Ta’aruf itu sendiri bukanlah amaliyah semacam ibadah Mahdah yang telah tetap rukun dan tata caranya, tetapi ia adalah anjuran Qurani ….
Nah! Justru itulah yang perlu dipahami oleh para pengamal dan terutama pendakwah taaruf. Sayangnya, seperti yang saya kemukakan dalam artikel dan dalam komentar Donny Reza di atas, ada yang memperlakukannya sebagai ritual “yang telah tetap rukun dan tata caranya” sehingga “menyaingi” ibadah mahdoh. Mereka tidak menempatkannya sebagai anjuran Qurani, melainkan sebagai keharusan dan kewajiban ritual “yang telah tetap rukun dan tata caranya”.
Syukurlah SPIP telah menyadari hal itu. Mudah-mudahan kesadaran itu senantiasa diamalkan dan ditularkan kepada mereka yang amat bergairah dalam bertaaruf itu, sehingga tidak terjerumus dalam bid’ah. Aamiin.
Sementara itu, hendaknya SPIP menyadari bahwa segala ritual (walaupun bukan ibadah mahdoh) yang diperlakukan bagaikan ibadah mahdoh itu dapat tergolong bid’ah. Umpamanya, pernikahan itu bukan ibadah mahdoh. Namun jika dalam ijab-qabulnya ditetapkan aturan bahwa sepasang mempelai harus berciuman, atau aktivitas lain yang tidak dituntunkan oleh Allah dan Rasul-Nya, maka itu tergolong bid’ah juga. Wallaahu a’lam.
Intinya ya seperti perkenalan biasa saja, cocok , perkenalan keluarga nikah

Sumber: http://pacaranislami.wordpress.com

0 komentar:

Posting Komentar

mohon komen tidak sara,saru,dan tidak menganggu

 

situs resmi Dara izhhar Copyright © 2011 Design by Ipietoon Blogger Template | web hosting